Hari Kamis Tanggal 12
April 2018 merupakan hari yang sangat spesial bagi Waroeng Pangestu,karena Preiden
ke-6 Bpk Susilo Bambang Yudhoyono beserta Ibu Ani Yudhoyono menyempatkan diri
untuk mampir dan mencicipi Pangestu Coffee.
Beliau terlihat sangat
menikmati setiap hidangan yang tersaji, dari sajian kopi khas waroeng pangestu terlihat
sekali dari pancaran wajah beliau bahwa akan ada kerinduan akan kenikmatan Pangestu
Coffee yang akan membuat beliau datang kembali.
Nah dari Beliau lah saya
memiliki sebuah kisah tentang “Makna Makanan Nikmat”.Beberapa waktu lalu saya
menonton sebuah film kartun populer yang kerap ditayangkan tiap pekannya di
salah satu stasiun televisi nasional. Pada salah satu serinya, saya tertarik
dengan cerita di mana sang tokoh utama yang ada dalam seri tersebut bersama dengan
sahabatnya sedang mengikuti sebuah kompetisi membuat makanan terenak yang
diadakan di kota mereka.
Singkat cerita, tahap
demi tahap telah dilalui hingga mengerucutkan dan menghasilkan dua peracik
makanan terenak. Secara mengejutkan, yang berhasil dan bersaing untuk
mendapatkan predikat peracik makanan terbaik itu mereka tak lain adalah sang
tokoh utama dalam seri kartun serta sahabatnya itu. Dua sahabat ini kemudian
bersaing untuk menjadi terbaik.
Maka dimulailah tahap akhir kompetisi untuk mendapatkan peracik
makanan terbaik. Tahap final diadakan di sebuah tempat wisata sejuk, daerah
pegunungan. Pada tahap akhir ini, para panitia memperbolehkan dan membebaskan
jenis makanan yang diracik serta cara dan strategi yang digunakan
masing-masing. Maka mulailah mereka meracik makanannya.
Sang sahabat yang merupakan pesaing tokoh utama langsung
bergerak cepat tanpa buang-buang waktu dengan begitu lihainya meracik, meramu
bumbu-bumbu. Dalam benaknya, dia sudah merencanakan akan meracik makanan kelas
bintang lima, istimewa, tampilan mewah dan embel-embel atribut kemewahan
lainnya. Sementara sang tokoh utama, dengan begitu santai dan sambil tebar
senyum meramu makanannya.
Bahkan, terkesan jenis bumbu yang dipilih dan racikannya sangat
sederhana yang lazim digunakan pada kelas ibu-ibu rumah tangga.
Singkat cerita, mereka berdua akhirnya mampu meracik makanan
mereka masing-masing sesuai dengan waktu yang ditentukan. Para juri penilai pun
sudah berada di hadapan mereka. Makanan yang mereka racik pun langsung
disajikan dalam tudung yang tertutup di hadapan juri penilai. Sang sahabat
begitu percaya diri dia akan memenangkannya. Sebab dia sudah bekerja sepenuh
hati dan mengeluarkan kemampuan terbaiknya untuk ini.
Ini adalah puncak dari segala kemampuan meraciknya! Sementara
sang tokoh utama tampak begitu santai, tanpa beban.Akhirnya mulailah tim juri
penilai mencicipi makanan hasil racikan dua sahabat ini. Pertama-tama, makanan
yang dicicipi adalah makanan si pesaing tokoh utama yang bercita rasa bintang
lima serta berasosiasi dengan kemewahan itu. Respons juri penilai tampak
mengangguk-angguk sambil terus menikmatinya.
Sebagai juri berpengalaman, tampak lidahnya sudah terbiasa
dengan makanan-makanan enak. Terbentuk kesan di gesture tubuhnya tampak biasa
saja dengan hasil racikan tersebut. Biar begitu, sang pesaing merasa percaya
diri, dirinya akan memenangkannya.
Sang tokoh utama mengajak para juri penilai untuk sejenak
olahraga jalan santai seraya berkelakar, ”Para juri-juri kan sudah lelah dan
penat menanti kami menyelesaikan racikan kami. Alangkah lebih baik, jika
sejenak olahraga sedikit untuk menggerakkan badan belaka.” Melihat usulan itu,
para juri tampak merespons dan menerima usulannya. Memang sedari tadi, mereka
sudah dilanda penat dan kebosanan menunggu para peserta meracik makanannya.
Lalu, mulailah mereka berolahraga jalan santai keliling di
tempat pelaksanaan acara tersebut. Setelah beberapa putaran, mulailah mereka
bercucuran keringat sembari merasa haus. Si tokoh utama kemudian menyuruh
mereka ke puncak untuk menikmati pemandangan luas nan indah yang terhampar di
lokasi tersebut sepanjang mata memandang sembari dia bergegas menyiapkan
makanannya racikannya.
Datanglah si tokoh utama menyajikan makanan racikannya dan
beberapa gelas air putih dingin dihadapan para juri penilai. Para juri kemudian
sudah tidak sabar mencicipinya. Alangkah terkejut mereka ketika membuka tirai
makanan tersebut. Yang ada hanya sebuah makanan biasa dengan tampilan sederhana
yang kerap ditemui di kaki lima beserta air putih dingin.
Perlahan, emosi mereka memuncak. Merasa dipermainkan. Disuruh
olahraga hingga merasa lapar; haus dan diberikan harapan tentang sebuah makanan
ter-enak, nyatanya hanya sebuah makanan biasa nan sederhana.
Melihat reaksi itu, sang tokoh utama buru-buru memadamkannya
sembari berkata lembut, "Coba dicicipi dulu. Para juri sekalian tadi sudah
lelah dan merasa haus dan lapar. Alangkah lebih elok dinikmati saja, ketimbang
hanya menggerutu yang justru membuat semakin lapar dan haus."
Mendengar ucapannya tersebut, mereka saling memandang dan
meskipun dengan diliputi perasaan jengkel, lapar dan haus seperti yang
dikatakan si peserta tersebut, mereka coba mengikuti sarannya dan meredakan
emosi sembari mencoba mencicipi hidangan sederhana yang disajikan
tersebut--meskipun dengan perasaan jengkel yang mendalam.
Perlahan dicicipi dengan penuh kejengkelan dan kedongkolan
makanan biasa nan sederhana itu sembari tetap sedikit menggerutu dan mereka
merasa ini makanan yang ... enak! Mereka terhanyut! Dahaga lapar dan hausnya
terbalaskan!
Mereka merasa seakan ada rasa kerinduan untuk makan yang amat
mendalam. Merasa ini makanan ternikmat yang pernah mereka makan. Mereka 'balas
dendam' atas rasa emosi, jengkel, lapar dan haus yang mereka dapat setelah
berolahraga dan 'dipermainkan' begini.
Damn! Si tokoh utama dalam kartun ini membidik tepat di pola
pikir mereka tentang makanan enak. Meruntuhkan segala teori dan konsep tentang
racikan makanan enak. Disini, si tokoh utama mengajarkan bahwa makanan enak itu
tidak selalu nikmat; makanan tidak enak itu tidak selalu 'gak' nikmat.
Kenikmatan makanan itu diukur saat kita sudah merasakan kerinduan untuk
makan--setidak enak apapun makanan itu.
Itulah makanan nikmat! Kita tentu tidak dapat menikmati sebuah
makanan enak, sedap yang berlimpah ketika sebuah pistol sedang membidik kepala
anda; ketika kita pada situasi terintimidasi atau ketika nasib hidup-mati anda
sudah didikte oleh orang lain. Sebaliknya, ketika kita 'bebas' dan sudah merasa
dahaga lapar, haus, apapun makanan yang tersaji itu terasa nikmat. Sesederhana
apapun makanan itu! Itulah filosofi yang ingin disampaikan film kartun
tersebut.
Sampai di sini, saya merasa terkesan dengan cerita tersebut. Ini
mengajarkan dan menjawab banyak hal. Saya dulu bertanya-tanya, kenapa ketika
makan ramai-ramai itu begitu nikmat? Kenapa setelah kita lapar dan penat,
ketika ada yang dengan begitu lembut dan ramah menyajikannya, makanan sederhana
pun terasa enak dan nikmat? Ternyata melalui film kartun ini sudah terjawab.
Kenikmatan sebuah makanan bukan dinilai dari enak, sedap,
mewahnya sebuah makanan yang disajikan, namun ketika sudah merasa kerinduan
terhadap makanan. Itulah filosofinya! Lalu, bagaimana akhir dari cerita di film
kartun itu? Ah, rasa-rasanya akhir cerita tersebut tidak perlu dituliskan lagi.
Kisah menariknya sudah berakhir disini. Makna tersiratnya sudah dapat.
Persoalan menang-kalahnya pada kompetisi itu tidak penting.