
Beliau terlihat sangat
menikmati setiap hidangan yang tersaji, dari sajian kopi khas waroeng pangestu terlihat
sekali dari pancaran wajah beliau bahwa akan ada kerinduan akan kenikmatan Pangestu
Coffee yang akan membuat beliau datang kembali.

Singkat cerita, tahap
demi tahap telah dilalui hingga mengerucutkan dan menghasilkan dua peracik
makanan terenak. Secara mengejutkan, yang berhasil dan bersaing untuk
mendapatkan predikat peracik makanan terbaik itu mereka tak lain adalah sang
tokoh utama dalam seri kartun serta sahabatnya itu. Dua sahabat ini kemudian
bersaing untuk menjadi terbaik.

Sang sahabat yang merupakan pesaing tokoh utama langsung
bergerak cepat tanpa buang-buang waktu dengan begitu lihainya meracik, meramu
bumbu-bumbu. Dalam benaknya, dia sudah merencanakan akan meracik makanan kelas
bintang lima, istimewa, tampilan mewah dan embel-embel atribut kemewahan
lainnya. Sementara sang tokoh utama, dengan begitu santai dan sambil tebar
senyum meramu makanannya.
Bahkan, terkesan jenis bumbu yang dipilih dan racikannya sangat
sederhana yang lazim digunakan pada kelas ibu-ibu rumah tangga.

Ini adalah puncak dari segala kemampuan meraciknya! Sementara
sang tokoh utama tampak begitu santai, tanpa beban.Akhirnya mulailah tim juri
penilai mencicipi makanan hasil racikan dua sahabat ini. Pertama-tama, makanan
yang dicicipi adalah makanan si pesaing tokoh utama yang bercita rasa bintang
lima serta berasosiasi dengan kemewahan itu. Respons juri penilai tampak
mengangguk-angguk sambil terus menikmatinya.
Sebagai juri berpengalaman, tampak lidahnya sudah terbiasa
dengan makanan-makanan enak. Terbentuk kesan di gesture tubuhnya tampak biasa
saja dengan hasil racikan tersebut. Biar begitu, sang pesaing merasa percaya
diri, dirinya akan memenangkannya.
Sang tokoh utama mengajak para juri penilai untuk sejenak
olahraga jalan santai seraya berkelakar, ”Para juri-juri kan sudah lelah dan
penat menanti kami menyelesaikan racikan kami. Alangkah lebih baik, jika
sejenak olahraga sedikit untuk menggerakkan badan belaka.” Melihat usulan itu,
para juri tampak merespons dan menerima usulannya. Memang sedari tadi, mereka
sudah dilanda penat dan kebosanan menunggu para peserta meracik makanannya.
Lalu, mulailah mereka berolahraga jalan santai keliling di
tempat pelaksanaan acara tersebut. Setelah beberapa putaran, mulailah mereka
bercucuran keringat sembari merasa haus. Si tokoh utama kemudian menyuruh
mereka ke puncak untuk menikmati pemandangan luas nan indah yang terhampar di
lokasi tersebut sepanjang mata memandang sembari dia bergegas menyiapkan
makanannya racikannya.
Datanglah si tokoh utama menyajikan makanan racikannya dan
beberapa gelas air putih dingin dihadapan para juri penilai. Para juri kemudian
sudah tidak sabar mencicipinya. Alangkah terkejut mereka ketika membuka tirai
makanan tersebut. Yang ada hanya sebuah makanan biasa dengan tampilan sederhana
yang kerap ditemui di kaki lima beserta air putih dingin.
Perlahan, emosi mereka memuncak. Merasa dipermainkan. Disuruh
olahraga hingga merasa lapar; haus dan diberikan harapan tentang sebuah makanan
ter-enak, nyatanya hanya sebuah makanan biasa nan sederhana.
Melihat reaksi itu, sang tokoh utama buru-buru memadamkannya
sembari berkata lembut, "Coba dicicipi dulu. Para juri sekalian tadi sudah
lelah dan merasa haus dan lapar. Alangkah lebih elok dinikmati saja, ketimbang
hanya menggerutu yang justru membuat semakin lapar dan haus."
Mendengar ucapannya tersebut, mereka saling memandang dan
meskipun dengan diliputi perasaan jengkel, lapar dan haus seperti yang
dikatakan si peserta tersebut, mereka coba mengikuti sarannya dan meredakan
emosi sembari mencoba mencicipi hidangan sederhana yang disajikan
tersebut--meskipun dengan perasaan jengkel yang mendalam.

Mereka merasa seakan ada rasa kerinduan untuk makan yang amat
mendalam. Merasa ini makanan ternikmat yang pernah mereka makan. Mereka 'balas
dendam' atas rasa emosi, jengkel, lapar dan haus yang mereka dapat setelah
berolahraga dan 'dipermainkan' begini.
Damn! Si tokoh utama dalam kartun ini membidik tepat di pola
pikir mereka tentang makanan enak. Meruntuhkan segala teori dan konsep tentang
racikan makanan enak. Disini, si tokoh utama mengajarkan bahwa makanan enak itu
tidak selalu nikmat; makanan tidak enak itu tidak selalu 'gak' nikmat.
Kenikmatan makanan itu diukur saat kita sudah merasakan kerinduan untuk
makan--setidak enak apapun makanan itu.
Itulah makanan nikmat! Kita tentu tidak dapat menikmati sebuah
makanan enak, sedap yang berlimpah ketika sebuah pistol sedang membidik kepala
anda; ketika kita pada situasi terintimidasi atau ketika nasib hidup-mati anda
sudah didikte oleh orang lain. Sebaliknya, ketika kita 'bebas' dan sudah merasa
dahaga lapar, haus, apapun makanan yang tersaji itu terasa nikmat. Sesederhana
apapun makanan itu! Itulah filosofi yang ingin disampaikan film kartun
tersebut.
Kenikmatan sebuah makanan bukan dinilai dari enak, sedap,
mewahnya sebuah makanan yang disajikan, namun ketika sudah merasa kerinduan
terhadap makanan. Itulah filosofinya! Lalu, bagaimana akhir dari cerita di film
kartun itu? Ah, rasa-rasanya akhir cerita tersebut tidak perlu dituliskan lagi.
Kisah menariknya sudah berakhir disini. Makna tersiratnya sudah dapat.
Persoalan menang-kalahnya pada kompetisi itu tidak penting.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar